Monday, 31 August 2015

Aku Dua Puluh Tahun



Akhir Agustus ini aku memasuki umur 20 tahun, lebih tepatnya baru saja, beberapa menit yang lalu. Akhirnya masa belasan tahunku telah berlalu. Rasanya agak aneh ketika menyebut kata "dua puluh" dan bukan lagi "sekian-belas" saat ditanya soal umur. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur belasan dan dua puluhan. Aku tetaplah anak kecil mamaku, yang cengeng, yang pemalu, yang takut berada dalam keramaian, yang  masih doyan es krim, yang heboh bahkan untuk hal-hal kecil, yang makannya suka pilih-pilih, yang manja banget kalau sakit,

yang belum bisa mandiri...

Sekalipun begitu, tetap ada suatu hal yang berbeda antara umur belasan dan dua puluhan. Hal pertama yang kusadari betul ketika seseorang tidak lagi berumur belasan yaitu mereka dituntut menjadi dewasa.

Aku rasa sebagian orang ada yang berpikiran sama denganku di akhir masa belasan tahunnya, mereka menyangkal, membantah, takut, tidak yakin, tidak percaya, dan belum siap menjadi dewasa.

Aku belum dewasa. Aku takut menjadi dewasa. Bukannya aku tidak ingin menjadi dewasa, aku hanya belum siap merubah diriku yang kekanakan dan labil ini menjadi sosok orang dewasa. Setidaknya biarkan aku menjadi remaja, bahkan di usia dua puluh tahunku.

Bukan tidak mungkin jika kita bersikap layaknya remaja belasan tahun di usia dua puluhan kita. Kita bisa tetap hang out bersama sahabat di akhir pekan, traveling kemana-mana, berburu pernak-pernik cantik, rutin mengunggah foto selfie, bergonta-ganti pacar, berbelanja, mengahambur-hamburkan uang orangtua, tidak serius menjalani studi, dan lain sebagainya. Semua itu tetap dapat kita lakukan di usia dua puluhan kita.

Tapi satu hal yang perlu kita renungkan bersama, di usia dua puluhan kita nanti,


Apakah sahabat kita yang katanya best friend forever itu masih bisa meluangkan akhir pekannya untuk kita di tengah kesibukannya menjalani semester tua?

Apakah orangtua kita masih saja menuruti keinginan kita untuk belanja dan traveling kesana kemari? Sementara kebutuhan hidup semakin mahal, di saat seharusnya kita bisa membantu meringankan beban orangtua dengan bekerja.

Apakah yang akan dikatakan orang pada kita jika di usia dua puluh tahun sikap kita masih saja norak dan lebay? 

Apakah masih sempat bagi kita untuk memikirkan pacar? Tidakkah sebaiknya kita sudah mulai serius memikirkan pernikahan? 

Apakah tidak malu jika terlambat dalam menyelesaikan studi? Akan jadi seperti apa kehidupan kerja kita nanti jika studi saja tidak berakhir dengan baik?

Tanpa kita sadari, pikiran-pikiran itulah yang menjaga diri kita. Mereka menjadikan kita dewasa bahkan tanpa kita kehendaki. Mereka akan membentengi hati kita saat muncul keinginan-keinginan yang tidak semestinya. Mereka menempatkan kita pada posisi yang lebih tinggi dan terhormat. Mereka menjadikan kita lebih bijaksana dari sebelumnya. Mereka akan sering mengingatkan, "Kamu sudah bukan remaja lagi, maka bersikaplah lebih dewasa", karenanya kita menjadi dewasa.

Tidak ada yang ingin menjadi dewasa, tetapi lingkungan memaksa kita untuk itu, dan kitapun tak bisa mengelak dari semua itu. Satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah menjalaninya, entah dengan setengah hati atau bahkan dengan terpaksa sekalipun.

Sejatinya tidak ada yang salah dengan usia dua puluh dan menjadi dewasa, toh segala sesuatu yang ada di hidup ini pada akhirnya memang akan berubah seiring waktu bukan? Menjadi dewasa bukanlah sesuatu yang menakutkan ketika kita bisa menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Banyak hal menyenangkan yang juga bisa dilakukan di usia dua puluh tahun, bedanya adalah kita tidak hanya melakukan hal-hal yang menyenangkan semata, tetapi juga yang bermanfaat dan mengandung hikmah, misalnya, 

~Memasak~

Dulu aku jarang sekali masuk dapur di rumah. Ketika masuk dapur saja jarang, maka kemampuan memasakku jelas tidak perlu dipertanyakan, kalian sudah bisa menebaknya. Ya, aku tidak bisa memasak, bahkan membuat nasi goreng saja selalu mengandalkan bumbu-bumbu instan. Akan tetapi semua berubah ketika statusku yang tadinya anak rumahan menjadi anak kos-kosan. Kami, anak kos, dituntut untuk serba hemat dalam hal apapun, alasannya sih klasik, karena tidak ingin memberatkan orangtua, tapi kenyatannya ya begitulah. Hehe.

Awalnya aku hanya iseng menelfon mama untuk minta resep tumis, masakan paling mudah dan hemat menurutku karena bisa dimakan hingga sehari penuh tanpa khawatir basi. Percobaan pertama sukses dan tiada tara bahagianya. Lantaran sukses di percobaan pertama, aku melanjutkan belajar memasak dengan penuh optimisme. Sop, sayur bening, sayur asam, pokoknya yang berbasis sayuran dulu biar mudah, kemudian mulai mencoba membuat tahu dan tempe goreng (pakai bumbu sendiri lho~), bakwan, perkedel kentang, sambal, ayam goreng, dan semacam itu. Alhamdulillah selama dua tahun di Malang ini aku sudah bisa mensejahterakan perut sendiri, mensejahterakan kantong juga. Kadang ga nyangka lhoo~ *nangisharu*

~Mencuci Pakaian~

Salah satu kelemahanku yaitu aku memiliki kulit tangan yang super sensitif dengan detergen. Kulit tanganku akan mengelupas segera setelah aku mencuci pakaian. Jadilah aku seorang gadis yang tidak pernah mencuci baju, di rumah ada budhe yang bantu-bantu ngurus rumah, di kosan ada mbak-mbak laundry yang siap antar jemput. Hohoho. Sungguh nyamannya hidup.

Sayangnya kenyamanan itu tidak bertahan lama, kira-kira pertengahan semester tiga aku sudah mulai mencoba mencuci baju sendiri karena mama mengeluhkan pengeluaranku yang cukup banyak hanya untuk laundry saja. Berbagai detergen sudah kucoba, dari yang colek,serbuk, sampai konsentrat, semua tidak ada yang cocok dengan tanganku. Sampai suatu saat kutemukan satu merk detergen yang tidak membuat kulit tanganku kasar apalagi mengelupas, jeng jeng jeng... promosi dulu, detergen itu adalah D*ia. Seriusan, aku sudah berulangkali mencuci menggunakan detergen D*ia itu dan tanganku baik-baik saja. Ya Allah, Alhamdulillah... :D bersyukur banget, akhirnya bisa mencuci baju sendiri. Yeay! Tadinya aku sempat kepikiran bahwa aku tidak akan bisa mencuci seumur hidupku, kasihannya suamiku nanti *mewek*, tapi tenang suamiku, istrimu ini sudah bisa mencuci sekarang :D *LOL*. Mungkin karena baru bisa mencuci kali ya, aku keranjingan. Semua baju seolah-olah terlihat kotor dan harus dicuci. Bahagia banget pokoknya.

~Memperdalam agama~

Jaman sekarang dengan kemajuan teknologi yang sungguh luar biasa, kita dapat melakukan banyak hal. Orang menjadi semakin sibuk dengan dunia dan menjadi jarang memikirkan agama. Belajar dari pengalaman diri sendiri saja sih, keluargaku bukanlah keluarga yang religius, aku hanya belajar baca tulis Al Qur'an di TPQ, kemudian mendapat pembelajaran agama dari sekolah, itu saja. Sholat bolong-bolong, baca Al Qur'an kayak orang gagap, puasa ya di bulan ramadhan saja, pacaran pula. Dulu aku menganggap asal aku tidak berbuat sesuatu yang salah itu cukup, sekalipun ibadah ya seperti itu. Tapi Allah menyadarkanku, memberiku hidayah, membimbingku hingga sampai di tempatku berdiri saat ini. Segala puji dan syukur teruntuk Allah, dzat yang telah menunjukkan petunjuk padaku. Sungguh aku masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah semata.

Di tahun kedua SMA aku mengikuti kajian keputrian, bersama dengan beberapa rekan kami mengkaji perkara agama, beragam hal kami diskusikan dan pelajari bersama. Aku merasakan ada semangat yang meletup-letup dalam hati saat itu. Semakin lama aku semakin rutin mengikuti kajian di sekolah. Aku kerap kali bertanya tentang hukum-hukum di dalam islam. Rasa ingin tahuku sangat tinggi untuk hitungan pemula yang baru belajar agama. Aku juga merasakan ada perubahan yang dahsyat dalam diriku saat itu. Entah ada apa aku tak tahu.

Suatu hari aku mendatangi perpustakaan sekolah dan membaca kitab-kitab karangan ulama mengenai islam, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku mengenai dialog dengan jin. Aku penasaran dan meminjamnya untuk kubaca di rumah. Mengetahui hal tersebut mamaku marah besar, beliau tidak marah lantaran aku berbuat kesalahan, beliau marah lantaran cemas dan khawatir dengan perubahan sikapku. Orangtua mana yang tidak cemas ketika anaknya tiba-tiba berubah bak seorang aktivis agama padahal awalnya sholatpun tidak? Aku menyadari betul hal itu.

Aku didudukkan di kursi ruang keluarga, mamaku menyatakan kekhawatirannya akan perubahan sikapku yang mendadak, beliau menanyakan beberapa pertanyaan dan aku mencoba menjawabnya dengan idealisku saat itu. Pertanyaan terakhir yang dilontarkan mamaku saat itu masih kuingat jelas hingga kini, "Mbak sudah mantap ingin mendalami ajaran agama? Jika memang sudah mantap mari mama antar mengaji di sumbernya agama, jangan lagi membaca kitab-kitab karangan orang".

Hatiku benar-benar kecewa mendengar keberatan mamaku atas apa yang kulakukan. Mamaku tidak menyambut baik keinginanku mempelajari agama. Hanya itulah yang kupikirkan saat itu. Aku tidak dapat melihat maksud baik dari ajakannya. Akan tetapi tawaran itu aku setujui karena aku ingin tahu, seperti apa 'sumber agama' yang dikatakan mamaku itu.

Sungguh aku tidak memiliki niat untuk mengaji pada awalnya. Kami datang ke sebuah masjid, disana ada seorang ustadz yang masih muda, beliau menjelaskan tata cara mengaji disana. Rupanya bukan seperti kajian di sekolah, dimana kami biasa berdiskusi dan membahas suatu buku, melainkan belajar langsung dari guru untuk mengkaji Al Qur'an dan Al Hadits. Sistem pengajiannya guru membacakan ayat Al Qur'an atau sebuah hadits, memaknai tiap kata di dalamnya, kemudian menjelaskan keseluruhan maksud ayat atau hadits tersebut. 

Sepulangnya dari pengajian aku berfikir keras, apakah caraku mempelajari agama ini salah atau benar? Hatiku bergejolak antar iya dan tidak. Aku terus memutar otakku hingga akhirnya sampai pada suatu kesimpulan, jika kita ingin belajar agama islam, kemana tujuan yang lebih baik daripada belajar langsung dari sumbernya, yaitu Al Qur'an dan Al Hadits? 

Tidak salah belajar dari buku-buku agama karangan ulama, beliau juga orang-orang pilihan Allah, akan tetapi siapa yang akan bertanggung jawab apabila karenanya kita menjadi salah tafsir dan salah pemahaman? Kita belajar dari subyektivitas sang penulis, aku rasa hal tersebut akan menyebabkan ada lebih besar kemungkinan pemikiran kita berbeda dari apa yang dipikirkkan sang penulis. 

Karenanya aku mantap dengan apa yang aku lakukan, karena aku tahu betul bahwa aku tidak melakukan suatu hal yang salah. Jika aku disalahkan karena belajar Al Qur'an dan Al Hadits, maka aku ingin bertanya satu hal, "Apa ada rujukan yang lebih baik bagi orang Islam selain Al Qur'an dan Al Hadits?"

Alhamdulillah sudah hampir empat tahun aku belajar agama, memaknai Al Qur'an dan Al Hadits, beberapa ayat Al Qur'an dan hadits akhirnya kuketahui, setelah dulu sempat meraba-raba. Menyenangkan rasanya bisa mempelajari apa yang ada di dalam kitab suci sendiri, mempelajari hadits-hadits nabi, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi kita mengerjakan amalan ini itu sudah bebas dari rasa ragu-ragu, karena kita sudah menemukan dalil yang membenarkan amalan kita. Segala puji bagi Allah~

Sudah bukan lagi saatnya mengatakan bahwa kewajiban mengaji itu hanya untuk anak-anak di TPQ, kita semua yang mengaku orang islam wajib mengaji, karena masih ada banyak sekali ilmu yang belum kita ketahui. Mencari ilmu dunia saja perjuangannya sungguh luar biasa, lalu mengapa tidak dengan ilmu akhirat? Bukankah hidup kita di dunia ini hanya sementara dan kehidupan akhirat itu kekal? Jika tidak mempersiapkan diri dari sekarang lalu kapan lagi? :)

Ya Rabb, jadikan usia dua puluhku ini (dan seterusnya) penuh barokah. Tolong jagalah selalu diriku, bimbing aku untuk terus memantaskan diri meraih surgaMu. Aamiiin :)

Aku Dua Puluh Tahun Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Post a Comment